Sabtu, 03 April 2010

LAPORAN FIELD TRIP ENERGI TERBARUKAN

DI JAWA BARAT
Program Perubahan Iklim dan Energi, WWF Indonesia
Senin – Rabu, 27 – 29 Juli 2009
Disiapkan oleh:
Indra Sari Wardhani
Energy Officer, WWF-Indonesia
213131313131313131313131313
1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Ketersediaan energi termasuk listrik merupakan elemen yang sangat penting dalam
berbagai aspek kehidupan manusia, sekaligus sebagai kebutuhan mutlak untuk
menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan. Hal ini menjadi tantangan besar
bagi Indonesia, ketika dihadapkan pada kondisi dimana sebagian besar penyediaannya
masih bergantung pada energi fosil dan pengembangan sumber – sumber energi
terbarukan masih sangat terbatas. Sementara permintaan terhadap energi semakin
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan yang terus
berkembang. Disamping itu juga ketidaksesuaian antara lokasi sumberdaya energi
dengan daerah pengguna energi serta minimnya infrastruktur di berbagai tempat telah
menyebabkan keterbatasan akses masyarakat terhadap energi. Selain itu, kesenjangan
pendapatan masyarakat yang cukup tinggi semakin menambah kompleksitas
permasalahan di sektor energi.
Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil terutama minyak bumi menimbulkan
kekhawatiran mengingat energi tersebut merupakan energi yang tidak terbarukan. Dengan
tingkat eksploitasi yang dilakukan saat ini tanpa penemuan cadangan baru yang signifikan
serta kapasitas kilang yang cenderung stagnan, akan menyebabkan jumlah cadangannya di
dalam negeri semakin menipis.
Cadangan Energi Fosil Indonesia 2008
* Tidak ada temuan cadangan baru;
** Termasuk blok Cepu
Sumber: Presentasi Menteri ESDM, 11 April 2008
Sementara di sisi lain, potensi energi terbarukan seperti biomasa, panas bumi, energi surya,
energi air, dan energi angin cukup besar. Hanya saja sampai saat ini pemanfaatannya masih
sangat terbatas. Hal ini antara lain disebabkan oleh harga energi terbarukan yang belum
kompetitif bila dibandingkan dengan harga energi fosil yang masih disubsidi, rendahnya
penguasaan teknologi sehingga kandungan impornya tinggi, serta keterbatasan dana untuk
melakukan penelitian, pengembangan, maupun investasi dalam pemanfaatan energi
terbarukan serta infrastruktur yang kurang memadai.
Cadangan Energi Non Fosil Indonesia 2008
Energi Non Fosil Sumber Daya Setara
Kapasitas
Terpasang
Tenaga Air 845 Juta SBM 75,67 GW 4,2 GW
Panas Bumi 219 Juta SBM 27,00 GW 1,04 GW
Mini/Mikro Hidro 0,45 GW 0,45 GW 0,084 GW
Energi Fosil Sumber Daya Cadangan Produksi
Rasio Cadangan/
Produksi*
Minyak Bumi 56,6 Milyar Barel 8,4 Milyar Barel** 348 Juta Barel 24
Gas Bumi 334,5 TSCF 165 TSCF 2,79 TSCF 59
Batubara 90,5 Milyar ton 18,7 Milyar ton 201 Juta ton 93
CBM (Gas) 453 TSCF - - -
313131313131313131313131313
Biomasa 49,81 GW 49,81 GW 0,3 GW
Tenaga Surya 4,80 kWh/m2/day 0,008 GW
Tenaga Angin 9,29 GW 9,29 GW 0,0005GW
Sumber: Presentasi Menteri ESDM, 11 April 2008.
Selama ini energi terbarukan lebih banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik
mengingat listrik merupakan kebutuhan yang sangat penting baik sebagai penerangan
dirumah-rumah maupun untuk menggerakkan industri. Namun demikian, ada juga
beberapa jenis energi terbarukan yang dikonsumsi secara langsung walaupun jumlahnya
masih sangat sedikit. Padahal pengembangan energi terbarukan merupakan salah satu
solusi penting bagi keberlanjutan pembangunan khususnya sektor energi.
Melihat berbagai dinamika yang terjadi diatas, sangat penting bagi WWF Indonesia untuk
terus meningkatkan pengetahuan para stafnya terutama terkait pengembangan energi
terbarukan yang sudah dilakukan oleh beberapa pihak. Dalam hal itu, maka Program
Perubahan Iklim dan Energi, WWF Indonesia berencana untuk melakukan kunjungan
lapangan ke beberapa lokasi di Jawa Barat yang sudah memanfaatkan energi terbarukan
yaitu1:
1. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), Cinta Mekar – Subang.
2. Mesin Pengering Tenaga Surya
3. Bengkel perakitan PLTMH ,Cihanjuang – Cimahi
4. Biogas, Lembang
5. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang – Garut
Kunjungan ini ditargetkan secara khusus untuk seluruh staf di Program Perubahan Iklim
dan Energi serta beberapa orang project leader dan koordinator WWF Indonesia yang
aktivitasnya relevan dengan isu tersebut.
1.2 Tujuan Kegiatan
1. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada seluruh staf Program Perubahan
Iklim dan Energi dan project leader atau koordinator WWF Indonesia yang
aktivitasnya relevan dengan isu energi.
2. Mensosialisasikan “best practices” kegiatan pengembangan energi terbarukan
yang dikunjungi melalui program kampanye WWF-Indonesia.
1.3 Waktu Pelaksanaan
Kegiatan ini akan dilakukan selama 3 (tiga) hari 2 (dua) malam, pada:
Hari : Senin – Rabu
Tanggal : 27 – 29 Juli 2009
1 Tentatif, tidak menutup kemungkinan ada perubahan lokasi.
413131313131313131313131313
1.4 Peserta
Field trip ini diikuti oleh 19 orang peserta yang merupakan staf WWF-Indonesia, terdiri
dari Divisi Program Iklim dan Energi (9 orang), Divisi Pendidikan Lingkungan (1
orang), Divisi Komunikasi (2 orang), Solor Alor Project (1 orang), Program
Kalimantan Barat (2 Orang), Program HOB Kalimantan Timur (1 orang), Program
HOB Kalimantan Tengah (1 orang), Proyek Bukit Barisan Selatan (1 orang), Konsultan
Fotografer WWF (1 0rang)
1.5 Agenda Kegiatan
Waktu Acara
Senin, 27 Juli 2009
08.00 – 08.30 Registrasi Peserta di Kantor WWF Jakarta
08.30 – 12.00 Diskusi
- Presentasi PT. RDA Nusantara mengenai Solar Panel
- Presentasi DR. Kamaruddin Abdullah mengenai pengering tenaga surya
12.00 – 13.00 Istirahat dan Makan Siang
13.00 Berangkat dari kantor WWF Jakarta
15.30 – 17.00 Kunjungan ke PLTMH Cinta Mekar – Subang
17.00 – 21.00 Presentasi mengenai Best Practices Penerapan PLTMH di Indonesia oleh
Bapak Iskandar di Kantor IBEKA, Panaruban Subang (diselingi makan
malam)
21.00 – 22.30 Tiba di penginapan Horison Dago Pakar Bandung
Selasa, 28 Juli 2009
07.30 – 09.00 Sarapan pagi di hotel/penginapan
09.00 – 14.00 Kunjungan ke Bengkel PLTMH Cihanjuang
14.00 – 15.00 Istirahat dan Makan Siang
15.00 – 17.30 Kunjungan ke Biogas, Lembang
17.30 – 22.00 Menuju penginapan Tirta Gangga, Garut (diselingi makan malam)
Rabu, 29 Juli 2009
07.30 – 09.00 Sarapan pagi di hotel/penginapan
09.00 – 12.30 Kunjungan ke Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang
12.30 – 14.00 Istirahat dan makan siang
14.00 – 17.00 Kunjungan ke Pengering Kulit Tenaga Surya
17.00 – 22.00 Kembali ke Jakarta (Kantor WWF Jakarta) (diselingi makan malam)
513131313131313131313131313
2 Kunjungan Lokasi
2.1 Hari 1, 27 Juli 2009: Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)
Cinta Mekar, Panaruban – Subang
PLTMH merupakan salah satu pembangkit listrik yang menggunakan sumber tenaga air
dalam skala mikro. Mikro menunjukkan kapasitas pembangkit, yaitu sekitar 5 kW sampai
dengan 200 kW. PLTMH Cinta Mekar merupakan salah satu PLTMH yang dibangun oleh
IBEKA (Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan) dengan bantuan dana hibah dari
Pemerintah Belanda. PLTMH ini pertama kali diresmikan pada tanggal 17 April 2004 oleh
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Dr. Poernomo Yusgiantoro.
Gambar 1. PLTMH Cinta Mekar
PLTMH Cinta Mekar memanfaatkan aliran air irigasi dari sungai Ciasem yang berhulu di
Gunung Sunda. Potensi aliran air dari sungai Ciasem ini sangat besar lebih dari 500 liter
per detik. Potensi air yang besar dari sungai Ciasem dialirkan ke bendungan. Kemudian
dari bendungan ini sebagian dialirkan untuk irigasi sawah yaitu sebesar 50 liter per detik,
sementara sebagian besarnya digunakan untuk PLTMH.
Sebelum digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit, air dari irigasi ditampung di
dalam bak penampung dengan kedalaman 3 meter dengan tujuan untuk membersihkan dari
sampah-sampah yang dapat merusak turbin. Setelah itu, air dialirkan ke bak penenang
dengan kedalaman sekitar 4,5 meter yang berfungsi untuk menstabilkan debit air yang
akan masuk kedalam turbin. Setelah dari bak penenang air dialirkan dengan debit sekitar
500 liter/detik melalui pipa pesat dengan ketinggian 18,6 meter dengan kemiringan sekitar
30 derajat. Ketinggian pipa pesat ini sangat mempengaruhi besaran listrik yang dapat
dihasilkan. Air dari pipa pesat ini hanya digunakan untuk menggerakkan turbin, selepas
dari turbin air dialirkan kembali kedalam sungai. Sehingga hal ini tidak menyebabkan
kerusakan lingkungan ataupun mengurangi jumlah pasokan air untuk aktivitas masyarakat.
613131313131313131313131313
Justru kelestarian hutan di hulu sungai harus dipelihara agar ketersediaan pasokan air
untuk PLTMH dapat terjaga.
Gambar 2. Pipa Pesat
Selanjutnya dalam proses pembangkitan listrik, putaran turbin menyebabkan putaran roda
penggerak yang selanjutnya menggerakkan generator untuk menghasilkan listrik. Listrik
yang dihasilkan dari PLTMH ini sebesar 120 kW (kilo watt) dengan menggunakan 1 (satu)
buah generator dengan kemampuan 120 kW dan 2 (dua) buah turbin dengan kemampuan
masing-masing sebesar 60 kW. Listrik sebesar ini cukup untuk melistriki 4 (empat) dusun
atau sekitar 200 rumah tangga didesa tersebut.
Gambar 3. Generator PLTMH Cinta Mekar
PLTMH ini juga menggunakan 1 (satu) buah panel kontrol yang berfungsi sebagai
penunjuk besaran listrik yang dihasilkan oleh generator dan juga 1 (satu) buah trafo stepup
yang berfungsi untuk mentransformasikan tegangan pada sistem dalam hal ini sebesar
220 Volt ke tegangan menengah PLN sebesar 20.000 Volt mengingat listrik yang
dihasilkan PLTMH Cinta Mekar sudah terinterkoneksi dengan jaringan listrik PLN.
Artinya bahwa, setiap listrik yang dihasilkan oleh PLTMH ini dijual kepada PLN dengan
harga yang disepakati dalam hal ini sebesar Rp. 520/KWh. Kemudian masyarakat sekitar
Generator
Panel kontrol
Putaran Roda
713131313131313131313131313
membeli listrik tersebut melalui PLN sesuai tarif listrik PLN yang berlaku. Sementara
hasil penjualan listrik kepada PLN dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk
pemberian beasiswa sekolah, pelayanan kesehatan, perbaikan dan pembangunan
infrastruktur desa termasuk juga pemeliharaan pembangkit. Keseluruhan bisnis PLTMH
ini dikelola oleh Koperasi setempat yang bernama Koperasi Mekar Sari.
Gambar 4. Meteran Listrik PLN Gambar 5. Trafo Tegangan
2.2 Hari II, Selasa 28 Juli 2009
2.2.1 Bengkel Perakitan Turbin PLTMH (CV. Cihanjuang Inti Teknik),
Cihanjuang – Jawa Barat
CV. Cihanjuang Inti Teknik (CINTEK) yang terletak di Jl. Cihanjuang 204, Cimahi Jawa
Barat merupakan salah satu perusahaan manufaktur swasta yang mengembangkan turbin
untuk PLTMH Turbin-turbin yang dihasilkan CINTEK telah mendapatkan sertifikasi uji
dari Luzen Swiss. Sebagian besar komponen yang digunakan untuk pembuatan turbin ini
seluruhnya menggunakan produksi dalam negeri dan teknologinya dikuasai oleh tenaga
ahli lokal. Tidak hanya membuat turbin, CINTEK juga memberikan kesempatan pelatihan
bagi pelajar maupun mahasiswa mengenai proses pembuatan turbin.
Gambar 6. Bengkel Pembuatan Turbin Cihanjuang
813131313131313131313131313
Gambar 7. Pemanfaatan Turbin untuk Menghasilkan Listrik
Berbagai pengalaman yang dirasakan CINTEK bahwa dalam membuat turbin untuk
pengembangan pemanfaatan energi terbarukan khususnya PLTMH perlu diimbangi
dengan paradigma pengembangan energi untuk meningkatkan produktivitas masyarakat.
Artinya bahwa ketersediaan energi diharapkan mampu meningkatkan aktivitas ekonomi
produktif masyarakat. Salah satu contoh yang berhasil diterapkan oleh CINTEK adalah
penggunaan turbin untuk memproduksi minuman tradisional Jawa Barat seperti Bandrek,
Bajigur, dan Sekoteng dengan berbagai pilihan rasa.
Sehingga saat ini CINTEK telah memiliki 2 (dua) bidang produksi yaitu: (1) Rekayasa dan
manufaktur pembangkit listrik tenaga air; (2) Industri minuman tradisional Jawa Barat
dengan total produksi mencapai 60 ribu bungkus per hari.
Gambar 8. Proses Pembuatan Minuman Tradisional Cihanjuang
2.2.2 Biogas, Kampung Pengkolan, Desa Cikideung, Lembang, Jawa Barat
Biogas merupakan salah satu jenis gas yang dihasilkan dari biomasa terutama kotoran
ternak/manusia, limbah kota/industri maupun limbah pertanian melaui fermentasi anaerob
(tanpa oksigen). Biogas ini terdiri dari beberapa unsur gas, seperti gas methan (CH4)
sekitar 60-70%, karbondioksida (CO2) 20-25%, Hydrogen Sulfida (H2S) 7%, dan
amoniak (NH3) 3%.
Desa pengkolan yang terletak di wilayah Lembang Jawa Barat, merupakan salah satu desa
yang memiliki potensi biogas yang cukup besar terutama yang bersumber dari kotoran
ternak. Mengingat potensinya yang cukup besar, Yayasan Pengembangan Swadaya
913131313131313131313131313
Masyarakat (PESAT) bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Biosains dan
Bioteknologi (YPBB) melakukan sosialisasi mengenai pemanfaatan biogas sebagai energi
khususnya untuk memasak di rumah tangga pedesaan. Dalam melakukan kegiatan
sosialisasi tidaklah mudah meyakinkan masyarakat setempat, banyak kendala yang
dihadapi. Terlebih, bila warga masyarakat tidak memiliki ternak sendiri, sulit untuk
mendapatkan pasokan kotoran sapi. Namun demikian Bapak Dedeng dan Ibu Nenden di
kampung Pengkolan tersebut menyadari kebutuhan energi yang dirasa sangat penting
untuk kehidupan sehari-hari akhirnya memasang instalsi biogas portabel di rumah mereka.
a. Tipe yang tertanam di tanah b. Tipe yang menggantung
Gambar 9. Reaktor Biogas
Biaya yang dikeluarkan oleh Bapak Dedeng untuk instalasi reaktor biogas portable itu
sekitar Rp. 1.000.000,- terdiri dari biaya pembelian kompor sekitar Rp. 125.000,-, reaktor
biogas plastik, drum umpan, pengaman gas, dan selang untuk menyalurkan gas dari
reaktor ke kompor,. Namun biaya tersebut tidak memperhitungkan biaya tenaga kerja
kerja karena seluruh pengerjaan mulai dari penggalian sampai pemasangan instalasi dan
pengumpulan pasokan kotoran sapi dilakukan sendiri. Diperkirarakan instalasi biogas
portabel tersebut dapat bertahan selama 5 (lima) tahun. Bentuk instalasi dapat berbedabeda.
Sebagai contoh, di rumah Bapak Dedeng instalasi dibuat menggantung vertikal
karena lahan yang tersedia sangat sempit, sementara di rumah Ibu Nenden instalasi dibuat
horizontal tertanam di tanah dengan panjang 7 (tujuh) meter dan kedalaman 1,3 meter.
Pada awal pemasangan, diperlukan sekitar 5 (lima) kubik atau sekitar 25 ember kotoran
sapi yang dimasukkan kedalam reaktor. Kemudian ditunggu selama 20 hari hingga reaktor
menghasilkan gas.
1013131313131313131313131313
Gambar 10. Pengaman dan Kompor Biogas
Untuk kebutuhan memasak sehari-hari, kotoran yang dibutuhkan hanya sekitar 3 (tiga)
ember perhari, yang dapat menghasilkan gas untuk memasak sekitar 3 – 4 jam.
Berdasarkan pengalaman Bapak Dedeng, penggunaan biogas dapat menghemat pemakaian
LPG yang berarti menghemat biaya energi sehari-hari. Nyala api yang dihasilkan tidak
berbeda dengan nayala api dari LPG, berwarna biru dan tidak berbau. Selain itu juga, sisa
dari proses fermentasi akan keluar dalam bentuk padat melalui pipa pembuangan dan
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang dengan kualitas yang bagus terutama untuk
tanaman sayur dan buah. Diperkirakan dengan kapasitas reaktor seperti tersebut diatas,
dapat menghasilkan sekitar 4 (empat) karung pupuk kandang. Sehingga selain dapat
menghemat pembelian LPG, pemanfaatan biogas juga dapat menghemat pembelian pupuk.
Dari sisi lingkungan, pengolahan limbah tersebut dapat mencegah penumpukan limbah
yang dapat menjadi sumber penyakit dan polusi udara.
2.3 Hari III, Rabu 29 Juli 2009
2.3.1 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang, Garut Jawa
Barat
Panas bumi adalah air panas/uap yang terbentuk dari magma secara alamiah. Ini
merupakan salah satu potensi sumber energi yang cukup besar di Indonesia yang berada di
dataran tinggi pegunungan terutama di sekitar wilayah gunung berapi. Sumber energi
panas bumi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi panas (thermal) dan sumber energi
untuk pembangkitan listrik. Letaknya yang umumnya di daerah pegunungan,
memungkinkan pemanfaatan sumber panas (thermal) untuk peningkatan produk-produk
pertanian maupun perkebunan seperti untuk proses pengeringan dan pengawetan, destilasi
jamur dan kayu putih, serta pemandian air panas.
Sebagai energi alternatif, panas bumi memiliki beberapa keunggulan antara lain, mudah
didapat secara kontinyu dalam jumlah besar, ketersediaannya tidak terpengaruh oleh cuaca,
bebas polusi udara karena tidak menghasilkan gas berbahaya (kecuali CO2 yang bisa
dimanfaatkan menjadi noncondensable gas) serta merupakan energi yang dapat diperbarui.
Meskipun potensi ini cukup besar. Namun pemanfaatannya masih terbilang sedikit, yaitu
sekitar 1000 MW kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sekitar 27.000 MW potensi
yang tersedia. Salah satunya adalah Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Kamojang
yang terdapat di Desa Laksana, Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung Jawa Barat. PLTP
Kamojang merupakan salah satu pembangkit milik PT. Indonesia Power (IP) yaitu Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga anak perusahaan PT. PLN (Persero).
Potensi panas bumi di Wilayah Kamojang sekitar 300 MW, namun saat ini yang sudah
dimanfaatkan untuk pembangkit listrik baru sebesar 140 MW oleh Indonesia Power yang
terbagi dalam 3 (tiga) unit pembangkit yaitu Unit 1, Unit 2, dan Unit 3 dengan kapasitas
masing-masing sebesar 30 MW, 55 MW dan 55 MW. Sementara 60 MW dimanfaatkan
oleh Pertamina Geothermal.
Pembangkit listrik panas bumi memanfaatkan uap panas dari perut bumi untuk
menggerakkan turbin-turbin pembangkit. PLTP Kamojang membeli pasokan uap dari
sumur-sumur panas bumi yang dikelola oleh Chevron dan Pertamina dengan harga yang
telah disepakati dan mengacu pada harga MFO dan juga titik pengukuran penentuan harga.
Sebagai contoh, pasokan uap yang dibeli dari Pertamina adalah sebesar 0,28 x harga MFO
1113131313131313131313131313
x 20% = Rp 1200/KWh. Bila dimasukkan dalam biaya operasional pembangkit, maka
harga ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan harga jual litrik per KWh yang secara
rata-rata hanya sekitar Rp. 750,-. Namun karena Indonesia Power merupakan BUMN,
maka selisih harga tersebutmendapat subsidi dari pemerintah.
Untuk kapasitas 140 MW, dibutuhkan sekitar 1000 ton uap/jam dengan temperatur sekitar
17 derajat celcius (tergantung pada musim). Uap sebesar ini dipasok dari sekitar 26 sumur
panas bumi yang ada. Kemudian uap dari sumur-sumur tersebut dialirkan melalui pipa
sepanjang ± 4,5 Kilometer, masuk ke dalam demister untuk dibersihkan/disaring. Sebagian
uap yang ada di demister ini dimanfaatkan untuk proses pengawetan, pengeringan maupun
destilasi jamur dan kayu putih. Sementara uap yang sudah dibersihkan akan masuk dan
menggerakkan turbin untuk kemudian menggerakkan generator dan menghasilkan listrik.
Siklus yang digunakan PLTP adalah siklus terbuka, artinya uap dari panas bumi hanya
digunakan 1 (satu) kali. Sehingga buangan uap dari turbin akan masuk seluruhnya ke
kondensator untuk akhirnya akan masuk ke dalam cooling tower setelah melalui pendingin
utama dan pompa pembersih. Selain itu juga, air dari hasil kondensasi ini akan
diinjeksikan kembali kedalam tanah. Uap yang tidak terkondensasi ± 0,5% dari total uap
akan dibuang ke udara berupa (CO2dan H2S). Sementara sampah/materi fisik seperti
lumpur dan batu-batuan akan dikeluarkan dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan
campuran pembuatan batako.
Gambar 11a. Pipa Uap Utama Gambar 11b. Cooling Tower
Listrik yang dihasilkan oleh PLTP Kamojang sudah interkoneksi dengan jaringan PLN,
yaitu sistem 150 kV untuk memasok sistem Jamali dan sistem 20 kV untuk melistriki 1
(satu) kecamatan di Majalaya dan Garut.
Gambar 12a. Trafo Tegangan 150 kV Gambar 12b. Jaringan Transmisi PLN
1213131313131313131313131313
2.3.2 Pengering Kulit Tenaga Surya, Garut Jawa Barat
Matahari merupakan sumber panas terbesar di atas bumi yang telah dimanfaatkan secara
tradisional untuk mendukung kegiatan manusia. Dengan adanya teknologi yang disebut
solar panel, panas matahari tersebut dapat lebih ditingkatkan nilai daya gunanya. Salah
satunya seperti yang terdapat di Pabrik Kulit milik H. Sulaeman di daerah Gagak
Lumayung, Garut yang memanfaatkan teknologi pengering surya untuk mengeringkan
kulit.
Gambar 13. pengering Kulit Tenaga Surya
Pembuatan kulit ternyata harus melalui beberapa tahapan proses yang cukup panjang dan
membutuhkan waktu. Mulai dari kulit mentah baik domba, kambing, maupun sapi
dimasukkan kedalam drum untuk dilakukan pengapuran yaitu untuk membuang bulubuluyang
masih menempel pada lapisan kulit. Proses pengapuran ini biasanya
membutukan waktu sekitar3 (tiga) hari. Setelah pengapuran, proses selanjutnya adalah
splitting (pemisahan lapisan kulit bagian luar dan bagian dalam. Biasanya kulit bagian
dalam digunakan sebagai bahan pembuat kerupuk kulit. Sementara kulit bagian luar
digunakan untuk bahan pembuat jaket, sarung tangan, sepatu dll. Setelah dipisahkan,
selanjutnya akan dilakukan penyamakkan pada kulit bagian luar. Tujuannya agar kulit
menjadi lebih lembut. Setelah itu masuk ke dalam proses shaving atau pencukuran yang
bertujuan untuk mengatur ketebalan kulit. Kemudian kulit akan dikeringkan. Setelah
kering, akan melalui proses pewarnaan dan kemudian dikeringkan kembali. Secara total
seluruh proses tersebut berlangsung selama ± 10 hari.
Dalam metode konvensional, proses pengeringan biasanya menggunakan sinar matahari
secara langsung. Namun kendalanya dibutuhkan lahan yang cukup luas untuk menjemur
kulit-kulit tersebut yang rata-rata memiliki lluas sekitar 15 – 30 feet. Dan bila cuaca hujan,
proses pengeringan akan terganggu. Padahal produktivitas pabrik ini bisa mencapai 300
lembar kulit domba per hari.
Gambar 14. Pemasangan Kulit pada Pengering Tenaga Surya
Gambar 15. Pengeringan Kulit secara Konvensional
1313131313131313131313131313
Pengering surya pertama kali digunakan oleh pabrik tersebut sekitar awal 2009. pengering
surya tersebut merupakan disain dari Universitas Dharma Persada yang di rakit oleh PT.
Sumber Piranti.dan dibiayai oleh SENADA (Indonesia Competitiveness Program) melalui
APKI (Asosiasi Pengusaha Kulit Indonesia). Dengan menggunakan pengering tenaga
surya ini ada abeberapa keuntungan yang diperoleh, antara lain:
1. Tidak membutuhkan lahan yang luas untuk menjemur dan mengeringkan kulit.
2. Tidak tergantung pada cuaca. Artinya bila cuaca hujan, proses pengeringan masih
dapat dilakukan dengan menggunakan kayu bakar sebagai penghasil panas.
3. Cara meletakkan kulit di atas penampang pengering dapat memperlebar kulit
sampai dengan ± 0,2 feet sehingga dapat menambah keuntungan mengingat harga
jual kulit berdasarkan pada ukuran lebar kulit yaitu sekitar Rp. 5500 – 6000/feet.
4. Mempercepat proses pengeringan sehingga dapat meningkatkan produktivitas.
Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman pabrik ini, mampu meningkatkan
produktivitas sampai dengan 100 lembar kulit per bulan.
3 Penutup
Field trip yang dilakukan selama 3 (tiga) hari ini memberikan wawasan baru kepada
peserta yang seluruhnya adalah staf WWF-Indonesia mengenai potensi energi terbarukan
yang sangat melimpah di Indonesia. Hal ini terlihat dari antusiasme dan berbagai
pertanyaan peserta dalam setiap kunjungan. Dalam kunjungan ini, peserta tidak hanya
melihat implementasi EBT di lapangan, melainkan juga mendapatkan materi-materi
presentasi dan juga penjelasan dari pemilik ataupun koordinator di masing-masing lokasi.
Best practices yang telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam mengembangkan EBT
dapat menjadi pembelajaran yang sangat berarti terutama bagi staf-staf WWF yang berada
di daerah-daerah yang memiliki potensi EBT cukup besar namun belum memanfaatkannya.
Seluruh cerita yang didapat dari kunjungan ini diharapkan dapat di sosialisasikan melalui
media komunikasi WWF Indonesia agar dapat memberikan lebih banyak manfaat bagi
orang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar