Sabtu, 03 April 2010

4 April 2010, 11:47 Setelah Hampir 6 Tahun Pascatsunami Khairiah Temukan Kembali Buah Hatinya



Dari tanda-tanda fisik yang bisa terlihat secara kasat mata, seperti ada kemiripan dengan almarhum suaminya, Khairiah yakin 100 persen itu anaknya. Namun untuk memastikannya, ia bertekad mengumpulkan uang untuk biaya tes DNA.

KHAIRIAH (37), tak pernah menyangka jika pertemuannya dengan bocah gelandangan itu, pada Kamis (25/3) dua pekan lalu, akan memberikan makna cukup mendalam dalam kehidupannya. Padahal, dua hari lalu dia sempat mendamprat bocah usia sekitar sembilan tahun itu karena terlihat merokok layaknya orang dewasa.

“Pada hari Kamis itu entah kenapa tiba-tiba tangan kanan saya tergerak melambai ke bocah itu yang berada di seberang jalan. Sedangkan tangan kiri saya mengurut-urut dada karena kasihan melihat dia,” ujar Khairiah saat dikunjungi Serambi di rumah orang tuanya, Desa Meunasah Raya Aree, Kecamatan Delima, Pidie, Jumat (2/4).

Hari itu, rumah orang tua Khairiah dipenuhi oleh warga setempat dan desa tetangga. Seperti halnya Serambi, kedatangan warga ke rumah tersebut juga bertujuan untuk memastikan kebenaran berita yang cukup menghebohkan. Seorang warga setempat menemukan anaknya yang hilang dalam musibah tsunami, 24 Desember 2004 lalu.

Si bocah yang mengaku bernama Akbar, duduk bersila di hadapan warga yang memenuhi ruang tamu rumah tersebut. Sesekali ia tampak tersenyum saat menceritakan kisah hidupnya. Namun, di saat yang lain ia menangis sejadi-jadinya ketika ada yang menanyakan apakah ia ingin kembali ke Takengon.

Menurut pengakuan Akbar, selama ini ia tinggal dengan keluarganya di Pondok Sayur, Aceh Tengah. Ia mengaku anak ketiga dari lima saudara dan hidup bersama ayah dan ibu tirinya. “Menurut ayah ibu kandung saya merantau ke Malaysia,” ujarnya. Sejak beberapa bulan lalu, kata Akbar, ia bersama seorang kakak perempuannya lari dari rumahnya. Ia mengaku kerap dipukul oleh ayah atau ibu tirinya. Namun kemudian ia berpisah dengan kakaknya di Takengon. Akbar selanjutnya menuju ke Bireuen untuk kemudian pergi ke Banda Aceh bersama seorang temannya yang disebut bernama Ucok.

Di Banda Aceh, Akbar kemudian mengaku menjadi gelandangan dan pernah ditangkap oleh petugas penertiban sehingga dimasukkan ke sebuah yayasan yang disebutnya bernama “Aneuk Nanggroe” di kawasan Mata Ie. “Tapi saya tidak betah di sana, karena dipukul-pukul oleh abang-abang. Kemudian saya lari dan hidup dari pemberian orang,” ujarnya.

Selain di Banda Aceh, Akbar yang mengaku tidak pernah sekolah ini juga mengatakan ia sempat pula menjadi gelandangan di terminal Pinang Baris dan Amplas, di Kota Medan, Sumatera Utara. “Waktu di sana saya makan dari pemberian orang. Saya minta-minta dari warung ke warung,” ujarnya sambil tersenyum lebar saat ada warga menanyakan bagaimana cara dia meminta makan.

“Wah sangat mirip dengan almarhum bapaknya,” celutuk seorang perempuan di antara para pengunjung, saat melihat wajah Akbar yang mengembangkan senyuman. “Iya, coba lihat foto almarhum bapaknya, tak bergeser sedikit pun,” ujar Bustami, tokoh muda desa tersebut sembari memperlihatkan foto almarhum Muhammad Nur Munthe, suami Khairiah.

Tanda lahir
Khairiah yang membawa pulang anak tersebut mengaku sangat yakin jika Akbar itu adalah anaknya Muhammad Irfan, yang hilang dalam musiban tsunami, tanggal 26 Desember 2004 lalu. Keyakinan Khairiyah cukup beralasan, karena anak tersebut memiliki tanda lahir (tupui) di bagian punggung, dan tahi lalat di lipatan lutut kanannya.

“Belakangan setelah saya bawa pulang ke sini, ternyata semuanya mengatakan bahwa ia sangat mirip dengan almarhum suami saya. Sehingga saya semakin yakin bahwa dia adalah anak saya. Namun kata orang, jika mau pasti tentu harus melalui tes DNA yang menurut orang juga butuh biaya besar. Entah darimana saya harus mencari biayanya,” ujar Khairiah.

Ia menceritakan, saat tsunami menerjang pesisir Aceh tanggal 26 Desember 2004 lalu, Khairiah yang tinggal di Jalan Perintis, Gampong Punge Jurong, Banda Aceh, kehilangan suami (Muhammad Nur Munthe) dan tiga anaknya, masing-masing, Ismaturrahmi, Muhammad Arif Afdhal, dan Muhammad Irfan.

Khusus Muhammad Irfan, saat tsunami terjadi masih berusia 3 tahun. “Ia lahir tanggal 14 April 2001. Kalau saat ini ia sudah berumur sembilan tahun kurang beberapa hari. Sebaya dengan dia,” ujar Khairiyah menunjuk Akbar atau Irfan yang terlihat memilin-milin rambutnya. “Nah ini juga salah satu kebiasaan anak saya waktu kecil,” tambah Khairiah menunjuk ke arah tangan si bocah yang memilin rambut depannya.

Khairiah menceritakan, sejak beberapa waktu terakhir ia memang kerap melihat bocah itu lalu lalang di depan tempat ia berjualan nasi, di Jalan Diponegoro, berseberangan jalan dengan taman kota Banda Aceh. Namun, seperti halnya saat melihat bocah gelandangan lainnya, Khairiah juga tidak punya perasaan apa-apa, hingga pada Kamis (25/3) tiba-tiba tangan kanannya tergerak melambai ke arah si bocah yang berjalan sendirian di kawasan taman kota.

“Setelah saya melambai, ia langsung menyeberang jalan ke arah saya. Kemudian saya beri makan. Setelah siap makan sembari mengucapkan terima kasih ia pergi lagi. Tapi esoknya, ia saya temukan tidur di depan rak nasi tempat saya berjualan. Sehingga setelah makan saya minta dia untuk mandi di Masjid Raya,” ujar Khairiah.

Melihat keakraban itu, beberapa pekerja di warung tersebut kemudian mengait-ngaitkan bahwa itu adalah anak Khairiah yang hilang dalam musibah tsunami. “Tapi saat itu saya bilang, tidak mungkin anak ini hitam dan joroknya minta ampun,” ujar dia sambil tertawa lebar. Akbar alias Irfan yang mendengar cerita itu juga ikut tertawa lebar.

Setelah itu, berdasarkan saran dari seorang pekerja di warung tersebut, Khairiah mencoba melihat punggung si bocah tersebut. “Masya Allah, saya kaget ketika melihat ada tanda lahir di punggungnya. Namun saya masih juga tidak yakin, karena ini sudah lama sekali,” ujarnya. Khairiah pun kemudian menawarkan si bocah untuk tinggal di rumahnya. “Saat saya memandikan dia dan menggosok-gosok punggungnya dengan lulur, seakan timbul perasaan yang luar biasa. Seakan seperti enam tahun lalu, sebelum tsunami. Saya langsung melihat bagian bawah lututnya, ternyata di sana juga ada tahi lalat seperti yang dimiliki anak saya. Sejak itu saya semakin yakin bahwa ini adalah anak saya,” ujarnya.

Pun demikian Khairiah tetap membiarkan si anak bermain-main bersamanya saat berjualan. “Saya tidak mau menahannya. Bahkan pada siang hari saya suruh mandi dia di kompleks Masjid Raya Baiturrahman. Kalau memang dia lari, berati bukan anak saya. Tapi dia selalu pulang,” ujarnya. Setelah beberapa hari tinggal bersamanya, pada Kamis (1/4), Khairiah pun memboyong si bocah pulang ke kampung orang tuanya di Desa Meunasah Raya Gampong Aree, Kecamatan Delima. Kesaksian warga setempat semakin meyakinkan Khairiah bahwa itu memang anaknya.

Setelah satu hari berada di kampungnya, Jumat (2/4), atas saran tokoh desa, Khairiah ditemani keluarganya melaporkan perihal tersebut kepada aparat Polsek Kecamatan Delima. “Sehingga jika ada pihak-pihak yang mengklaim anak ini sebagai anak dia, saya siap harus berurusan secara hukum. Kalau memang perlu sama-sama melakukan tes DNA. Saya hanya bermaksud melindungi dia. Kalau hasil DNA menyatakan dia bukan anak saya, apa boleh buat,” ujarnya mantap.

Iqbal dan Ramli, tokoh Meunasah Raya Gampong Aree menyatakan, jika hasil tes DNA menyatakan bahwa itu benar-benar anak Khairiah, maka ini bisa menjadi contoh kasus bagi orang tua lainnya yang kehilangan anak dalam musibah tsunami 2004. “Bisa saja masih banyak anak-anak yang jadi gelandangan dan dimanfaatkan oleh mafia, atau telah dijual ke luar daerah. Saya pikir pemerintah perlu memfasilitasi Khairiah untuk melakukan tes DNA,” ujar Iqbal. (zainal arifin m nur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar