Minggu, 21 Maret 2010

Universitas Surabaya - UBAYA

Universitas Surabaya - UBAYA

1 Maret 2010, 14:12
Di Subulussalam
Suami Istri Hilang di Titik Longsor
Utama

Pengendara mendorong sepeda motor melewati timbunan longsor pada badan Jalan Nasional Aceh - Sumut di kawasan Desa Lae Ikan, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, akibat hujan lebat, Sabtu (20/3) sore. Akibatnya arus lalu lintas dari Aceh menuju Medan dan sebaliknya putus total. SERAMBI/KHALIDIN
SUBULUSSALAM - Hujan lebat yang mengguyur Kota Subulussalam dan sekitarnya, Sabtu (20/3) petang mengakibatkan terjadi longsor tebing di lima lokasi di kawasan Kedabuhen, Desa Lae Ikan, Kecamatan Penanggalan, berjarak sekitar 20 kilometer dari ibu kota Subulussalam. Dua warga Lae Ikan yang merupakan pasangan suami istri dilaporkan hilang di titik longsor.

Longsor di kawasan Subulussalam juga menimbun badan jalan nasional Aceh-Sumut melalui Kota Subulussalam. Sebatang pohon besar tumbang dan menimpa tiang PLN hingga patah. Tumbangan pohon juga memutuskan kabel listrik dalam rentangan sepuluh tiang. Akibatnya, arus listrik ke Kota Subulussalam padam total. Pihak PLN langsung turun ke lokasi untuk memperbaiki kerusakan namun hingga menjelang tengah malam lampu belum menyala. “Pohon itu tumbang saat hujan dan angin kencang sekitar jam lima sore,” kata Berutu (37), seorang warga setempat.

Pantauan Serambi, sedikitnya tiga titik longsor yang terparah. Material longsor menutupi semua badan jalan hingga ke berem. Tanah longsor di tempat itu diperkirakan mencapai panjang 50 meter dengan lebar sepuluh meter. Dua di antaranya terdapat di dekat Dusun Lae Oncim, Desa Lae Ikan sekitar 800 meter dari perbatasan Aceh-Sumut dan satu titik lainnya di kawasan Gajah Putih.

Di Dusun Lae Oncim, sekurangnya 50 meter badan jalan tertimbun tanah longsor dengan ketinggian hingga satu meter lebih. Longsor lainnya terjadi di kawasan Dusun Patetah namun tidak terlalu parah. Longsor tebing di pinggir jalan itu itu dikabarkan terjadi secara bertahap sejak Sabtu (20/3) pukul 18.00 WIB, saat hujan deras mengguyur wilayah Subulussalam dan sekitarnya. Longsor lainnya di sekitar tanjakan Kedabuhen namun hanya beberapa sentimeter di atas permukaan jalan.

Mengungsi dan hilang
Sementara di dekat Gajah Putih, Desa Lae Ikan, sebanyak sepuluh rumah penduduk terendam air bercampur lumpur yang meluber akibat pecahnya dinding MCK desa setempat. Di samping itu ada juga rumah yang rusak namun belum diketahui jumlahnya. “Ada sepuluh rumah warga yang terendam lumpur, sehingga mereka terpaksa mengungsi,” kata Kepala Desa Lae Ikan, Jhoni Bancin, ketika dihubungi Serambi, tadi malam.

Selain mengsungsi, Jhoni juga melaporkan dua orang warganya hilang saat sedang berada di kebun. Kedua warga tersebut adalah pasangan suami istri, yakni Pecci Manik (50) dan Bahtiah (45). Saat hujan lebat dan kejadian longsor, keduanya dikabarkan sedang berada di kebun. Upaya pencarian telah dilakukan warga setempat namun hingga pukul 22.30 WIB belum ditemukan. “Sudah kami cari sampai ke kebunnya yang ada hanya kain, songkok, dan cabai yang baru dipetik,” kata Jhoni Bancin.

Puluhan kendaraan dari Medan maupun sebaliknya sempat terperangkap di lokasi longsor. Namun, beberapa pengendara sepeda motor tampak nekat menerobos celah kecil badan jalan. Bahkan tak sedikit yang berlumuran lumpur saat melintas di antara longsor. Alat berat milik Pemko Subulussalam tiba di lokasi longsor pada pukul 21.00 WIB dan satu jam kemudian jalan bisa dibersihkan dan arus lalu lintas normal kembali.(kh)

MESIR - Ketika kita mendengar kampung Laemate, pasti yang terpikir dibenak kita khususnya bagi suku Pakpak dan Boang* adalah Air Mati. Karena nama kampung ini diambil dari asal bahasa boang sendiri. Lae yang berarti Air dan Mate berarti mati. Nama kampung ini selalu menjadi pertanyaan bagi masyarakat yang baru mendengarnya. Karena pada dasarnya kampung Laemate adalah kampung yang airnya hidup dan tidak mati.

Lain lagi pendapat perorangan dengan mengatakan bahwa air mati itu benar telah terjadi di kampung Laemate pada masa perang melawan penjajahan Belanda. Sehingga kaum muslimin bisa menyeberangi sungai yang telah beku seperti es. Namun sampai sekarang belum ada data kongkrit asal mula nama kampung Laemate yang dakui oleh sejarah. Tapi yang jelas kampung Laemate adalah termasuk salah satu kampung yang mempunyai sejarah panjang dan penduduk terbanyak di sekitar daerah aliran sungai (DAS) di wilayah Kota Subulussalam sampai ke Aceh Singkil.


Sejarah Kampung Laemate.

Kampung Laemate merupakan salah satu daerah yang sangat jauh dari keramaian atau boleh juga dikatakan daerah pedalaman. Karena untuk mengunjungi kampung ini tidaklah mudah, harus menempuh dua jalur darat dan jalur air. Kedua jalur ini wajib ditempuh oleh siapa saja yang ingin mengunjungi kampung tersebut.

Pada awalnya daerah ini bukanlah satu kampung. Tapi hanya segelintir penduduk saja yang tinggal di kawasan ini. Namun dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan bercocok tanam maka dibuatlah suatu perkampungan yang diberi nama Laemate.

Kampung ini sudah ada sejak zaman Belanda. Bahkan jauh sebelum kedatangan penjajahan Belanda, kampung ini juga sudah ada. Bukti ini bisa dilihat dari adanya bangunan rumah tua, makam-makam para syuhada terdahulu dan lain-lain. Dan di desa ini juga tidak jauh dari makam Syeikh Hamzah Al-Fansuri seorang ulama besar pada zaman dahulu kala. Terletak di kampung Oboh yang sampai saat ini masih kokoh dan berdiri dengan megahnya.

Pada zaman dahulu, penduduk di wilayah Singkil yang sekarang telah mekar menjadi Kota Subulussalam hanya memiliki jalur transportasi air untuk menghubungkan ke daerah lain. Walaupun bisa ditempuh dengan jalan kaki, tapi jaraknya yang terlalu jauh membuat masyarakat wilayah ini menggunakan jalur air sebagi penghubung utama dengan daerah lain. Sehingga, untuk menuju Kota Medan, Sumatera Utara harus menempuh perjalanan berminggu-minggu lamanya.

Melalui jalur ini penduduk yang ingin ke Medan bisa menempuh tranportasi air dengan melawan arus hingga ke daerah Alas dengan perahu tanpa mesin alias dayung pada masa itu.

Dari Alas (Aceh Tenggara) saat ini.. Bisa langsung menuju daerah Karo, dari Karo inilah nafas segar sudah mulai bisa dirasakan, Karena daerah ini tersedia jalan untuk menuju Kota Medan dengan mudah dan cepat. Bisa anda bayangkan bagaimana sedih dan capeknya nenek– nenek kami dahulu? Namun itulah perjuangan hidup.

Kampung Laemate juga tidak asing lagi bagi daerah Aliran sungai (DAS), karena kampung ini merupakan daerah terpanjang dan terpadat penduduknya di sekitar aliran sungai, Bahkan sampai saat ini tercatat penduduknya lebih dari seribu orang. Hidup bermasyarakat dalam menjalankan adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari.

Penghasilan Penduduk.

Penghasilan utama penduduk kampung Laemate adalah bertani. Dan ini merupakan mata pencaharian pokok dari masyarakat setempat. Sehingga nama bulan dikarang oleh penduduk kampung ini tanpa melenceng dari makna 12 bulan yang ada di dunia ini.

Misalnya saja bulan Ramadhan. Penduduk di kampung ini menyebutnya dengan bulan Puasa. Begitu juga Syawal disebut bulan Khe Khaya yang berarti Hari Raya, dan banyak lagi istilah di kampung-kampung. Nama pengalihan bulan seperti ini, khususnya di Laemata sendiri adalah untuk menyesuaikan dengan keadaan alam dalam bercocok tanam. Karena dalam bertani harus mempunyai bulan tertentu.

Bila salah dalam menanam maka banjir akan datang, sehingga penghasilan masyarakat bisa jadi akan hilang dan lenyap. Karena daerah aliran sungai sudah menjadi kebiasaan banjir setiap tahunnya dan di bulan-bulan tertentu.
Selain bertani, daerah ini juga terdapat penghasilan yang lain dan bisa menambah pendapatan penduduk setempat, seperti, karet, ikan, kelapa, kayu dan komoditas hasil bumi lainnya.

Pendidikan.

Tidak kalah saingnya juga, kampung ini telah mempunyai sarana pendidikan seperti sekolah dasar (SD) dan Pesantren “Hubbul Wathan.” Di setiap pelosok sampai nan jauh ke ujung kampung, anak-anak terlihat dengan semangat belajar pagi dan sore.

Pagi hari mereka pergi ke sekolah dasar dan siangnya belajar di pesantren. Biasanya kalau sudah mendapat Ijazah setingkat Ibtidaiyah atau SD, kebanyakan para siswa/i melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan pindah keluar daerah.

Pesantren di kampung ini sudah berumur lebih kurang 25 tahun, dan ini menjadi kebanggaan di suatu kampung yang bisa dengan bahu membahu dan gotong royong bersama membangun sebuah tempat belajar pendidikan agama.

Selain pesantren, sarana pengajian khusus kaum bapak dan kaum ibu juga tersedia di berbagai tempat, dan ini merupakan kewajiban bagi Mareka untuk mengikutinya demi memahami agama Allah. Seperti Thariqat Naqsabandiah, amalan khalwat suluk, dan diringi dengan pengajian amalan dan tata cara shalat, serta amalan penting lainnya terhadap kaum bapak dan ibu di kampung ini.

Jika melirik kembali ke masalah pendidikan. Tercatat dalam sejarah kampung ini, banyak siswa/i yang menuntut ilmu keluar di berbagai tempat di daerah lain. Mereka juga telah menghasilkan banyak kader khususnya di bidang agama. Seperti belajar ke Pesantren Tanah Merah, kuliah di Fakultas STAIS Kota Subulussalam, USU atau IAIN Medan, IAIN Banda Aceh, UGM Jogjakarta, dan bahkan ada yang sudah sampai menembus ke Benua Afrika, di Mesir.

Hal ini sangat menjadi dukungan dan motifasi ke depan bagi para para orang tua untuk memberikan motifasi anak-anak mereka demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Adat Istiadat.

Budaya dan adat istiadat merupakan salah satu ciri khas di manapun suatu penduduk itu tinggal. Dan masing-masing penduduk mempunyai adat istiadat yang berbeda, walaupun di sana-sini kita menemui ada sejumlah persamaan, namun persamaan itu pastinya mempunyai perbedaan.

Kampung Leamate mempuanyai adat istiadat tersendiri. Seperti dalam hal meminang, terlihat dari kaum laki-laki harus membawa beberapa peralatan kampung yang dibalut dengan kain berkilat. Di dalam kain itu tersedia sirih, tempat kapur yang terukir indah, rokok, dan lain-lain. Ini nantinya akan dihidangakan di depan keluarga mempelai perempuan untuk makan sirih atau merokok di sela-sela bercerita dan bersendagurau.

Selain itu, terdapat juga Tari Dampeng. Tari Dampeng ini merupakan tarian adat di wiliyah Kota Subulussalam dan Aceh Singkil. Bila mana ada suatu pesta tanpa dihibur dengan Tari Dampeng sepertinya acara pesta tersebut kurang sempurna dan tari ini merupakan bumbu dalam setiap acara pesta pernikahan dan sunat rasul.

Desa Laemate Sudah Mati ?

Mungkin ucapan ini sangat aneh bila kita mendengarnya. Tapi inilah fakta yang harus ditangisi. Dengan deraian air mata pada tahun 2002 sekitar tanggal 20 bulan??? kampung ini harus ditinggalkan oleh penduduknya sampai sekarang. Bukan kesengajaan dan keinginan untuk meninggalkannya, tapi inilah taqdir Allah Yang Maha Kuasa.

Aceh dengan tuduhan separatisnya yang selalu dilontarkan oleh Indonesia Jawa pada masa itu membuat penduduk Laemate harus mengungsi. Karena untuk bertahan hidup tidak mungkin lagi. Perang berkecamuk antara GAM dan RI. Tidak ada jalan kecuali mengungsi. Hal yang serupa juga dialami oleh kampung tetangga. Bahkan saat itu tercatat lebih dari 18 kampung yang harus segera ditinggalkan oleh penduduknya.

Jadilah Kampung Laemate Baru.

Setelah teromabang-ambing lebih dari 6 bulan dapatlah satu kesimpulan bahwa masyarakat Kampung Laemate baru mendapatkan setapak tanah untuk membangun kembali rumah untuk bertahan hidup dan tentunya membangun sebuah kampung mereka yang dimulai dari nol. Kampung yang dulunya mereka miliki dengan dihiasi keindahan masjid, sarana sekolah, musalla dan lain-lain. Namun saat ini semua dihiasi dengan ranting-ranting pohon dan daun-daun yang masih segar dan harus diratakan dengan tanah.
Namun, di balik semua kisah ini tersimpan banyak hikmah dan pelajaran khususnya bagi masyarakat Kampung Laemate sendiri.

Demikianlah sebuah kisah suatu kampung yang sangat jauh dari perkotaan, Namun kesabaran untuk bertahan hidup saat ini kampung tersebut sudah mulai membangun, baik dari pemberdayaan masyarakat, pembangunan sarana sekolah, jalan umum, masjid, mushalla, pembangunan rumah penduduk, baik dari BRR maupun dari BRA. Dan banyak lagi bantuan yang lain telah diberikan oleh pemerintah kepada penduduk Laemate tersebut. Dan semoga kampung ini bisa menjadi kampung yang amar makruf dan nahi munkar.

Note - Suku Boang adalah suku mayoritas di Kota Subulussalam. Di Laemate sendiri hanya terdapat suku Boang saja. Sedangkan suku Pakpak termasuk salah satu suku yang ada dikota Subulussalam.. Selain suku tersebut masih banyak suku yang lainnya seperti Aceh, Padang, Jame dan lain-lain.
Gubernur Diminta Bangun Jalan ke Situs Sejarah Islam Dunia
29 01 2009

Warga Desa Oboh, Kec. Runding, Kota Subulussalam maupun para peziarah berharap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf agar menyisihkan dana otonomi khusus (Otsus) untuk membangun jalan mulus ke Makam Syech Hamzah Fansury situs sejarah Islam dunia di desa itu.

Demikian harapan Sukur Bancin, ketua Badan Permusyawaratan Gampung (BPG) Desa Oboh didampingi beberapa warga dan sejumlah pejiarah kepada Waspada baru-baru ini di komplek Makam keluarga Syech Hamzah Fansury. “Makam Syech Hamzah Fansury dan keluarga merupakan situs sejarah Islam dunia, khususnya perkembangan Islam Asia Tenggara,” kata Sukur tadi siang.

Sukur bersama rekanya membenarkan Desa Oboh salah satu desa terisolir di Subulussalam, karena hanya bisa ditempuh dengan jalur sungai. Meski jaraknya hanya 5 Km dari Pasar Runding, ibukota Kecamatan Runding, namun jalan darat yang pernah dibuka hingga saat ini tidak bisa dimanfaatkan. “Bila gubernur dapat menyahuti harapan kami, tentu besar manfaatnya, bukan hanya bagi warga sekitar melainkan makam ini sebagai situs sejarah akan mudah dikunjungi peziarah baik lokal, domestik maupun dunia,” tambah mereka. Pokoknya, bila sarana transportasi darat telah bagus hasil pertanian penduduk lebih mudah dipasarkan karena jalan mulus yang diangan-angankan mereka, dapat memperpendek jarak dan waktu tempuh dari dan ke Desa Oboh yang lebih dikenal dengan makam keramat Oboh.

Kasmer Berutu, 65 warga Desa Jontor, Kec. Penanggalan yang kebetulan melaksanakan niatnya berziarah ke Makam Syech Hamzah Fansury mendukung permohonan warga kepada Gubernur Irwandi agar membangun jalan mulus menuju makam ulama besar Aceh tersebut. “Kalau jalan sudah mulus ke sini para peziarah tentunya bertambah ramai berkunjung ke Makam Ulama besar Aceh ini,” sebut Kasmer.

Sementara Pemko Subulussalam terkesan lupa dengan kebesaran situs sejarah itu. Pasalnya, sejumlah pamflet terlihat masih tertulis Kab. Aceh Singkil, padahal desa itu bagian Kec. Runding dalam wilayah Kota Subulussalam.

Sumber : www.waspada.co.id

Industri Ternak - Penyebab Utama Perubahan Iklim

Industri Ternak - Penyebab Utama Perubahan Iklim


12 Maret 2010, 08:28
Setujui Pengadaan Mobil Dinas
Anggota DPRK Subulussalam Dikecam
Subulussalam
SUBULUSSALAM - Kesatuan Aksi Mahasiswa Subulussalam (Kamsas) Jakarta mengecam keras para anggota DPRK Subulussalam, karena menyetujui pengadaan lima unit mobil dinas Kijang Innova untuk ketua komisi. Ketua Kamsas Jakarta, Ali Geno Berutu yang menghubungi Serambi melalui telepon, Kamis (11/3) menyatakan kekecewaannya terhadap para wakil rakyat di Kota Subulussalam. Seharusnya, kata Ali, para wakil rakyat di Subulussalam lebih propublik dalam setiap langkahnya, bukan serta-merta langsung menambah fasilitas atau tunjangan-tunjangan untuk pribadi.

Karenanya, Ali pun menilai bahwa pengadaan mobil dinas ketua komisi dan BKD itu sangat melukai perasaan masyarakat Subulussalam yang masih hidup dalam kemiskinan. Karena itu, dia meminta agar pengadaan mobil dinas itu dibatalkan.”Maunya mereka (anggota DPRK-red) jangan lukai hati rakyat yang sedang dalam kesulitan seperti sekarang ini,” kata Ali seraya mendesak eksekutif agar membatalkan rencana pembelian mobil tersebut.

Tak hanya mahasiswa, protes juga disampaikan masyarakat Kota Subulussalam. Seperti yang disampaikan Wildan Sastra S.Sos, aktivis Lembaga Analisa dan Advokasi Kebijakan Publik (Lansdkap). Wildan mengingatkan legislatif agar pro rakyat. Apalagi, saat ini APBK Subulussalam dikabarkan mengalami defisit hingga Rp 11 miliar lebih. Sementara Ketua DPRK Subulussalam, Pianti Mala, yang dikonfirmasi Serambi secara terpisah mengatakan, bahwa dirinya juga tidak setuju pengadaan mobil dinas pada tahun ini, termasuk terhadap ketua komisi di DPRK. Menurutnya, dari awal telah ada semacam kesepakatan di legislatif untuk meniadakan pengadaan mobil dinas pada tahun 2010. “Terus terang saya juga tidak setuju, karena dari awal saya sudah bilang tahun ini jangan ada pengadaan mobil dinas tahun ini,” terang Pianti. Pianti juga mengakui bahwa APBK tahun 2010 Kota Subulussalam mengalami defisit hingga mencapai Rp 11 miliar.(kh)



20 Maret 2010, 10:11
Listrik Padam, Subulussalam Gelap Gulita
Subulussalam
SUBULUSSALAM - Aliran listrik ke wilayah Pemerintah Kota (Pemko) Subulussalam, sejak Kamis (18/3) petang lalu kembali terganggu. Gangguan ini menyebabkan listrik mati total dan membuat Kota Subulussalam dan sekitarnya gelap gulita. Asisten Manager (Asman) Teknik PT PLN Cabang Subulussalam, Zumara yang dikonfirmasi Serambi mengatakan, gangguan terjadi bukan di wilayah Kota Subulussalam, melainkan berada di Gardu Induk (GI) Sidikalang. Zumara mengaku telah memeriksa semua jaringan di Subulussalam dan tidak ada masalah. Dikatakan, pihak PLN Sidikalang telah berulangkali mencoba memasukkan arus ke jalur Subulussalam namun selalu gagal. “Ini gangguannya dari Gardu Induk Sidikalang, sudah lima kali dimasukkan tapi gagal selalu,” terang Zumara

Ditanya seberapa lama gangguan dapat diatasi, Zumara mengaku tidak bisa memastikan. Sebab, seperti yang disampaikan bahwa jaringan yang bermasalah bukan berada di Subulussalam tetapi di Sidikalang. Karenanya, Zumara juga mengaku tidak tahu kapan listrik akan kembali menyala di Subulussalam. Akibat gangguan ini, listrik di Subulussalam padam total, sehingga warga terpaksa menggunakan mesin genset sebagai alat penerangan. Sejumlah warga kepada Serambi mengatakan, bahwa listrik di Subulussalam sejak Kamis pagi sudah sering padam alias byar pet. Kondisi yang parah terjadi di atas pukul 12.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Masalah lain yang kerap dikeluhkan pelanggan menyangkut voltase listrik pada malam hari. Dikatakan, saat malam hari tegangan listrik hanya berkisar 100 volt, bahkan tak jarang turun hingga 70-80 volt. Jika sudah begini, lampu di rumah warga akan redup alias hidup segan mati tak mau. “Jangankan menyalakan alat elektronik seperti kulkas atau televisi, lampu saja susah menyala,” ujar Herlina, salah seorang ibu rumah tangga

Sebelumnya, pihak PLN Subulussalam mengatakan, kalau gangguan yang terus berulang ini merupakan akibat kerusakan listrik di tingkat hulu yakni jaringan yang melintas dari Sumatera Utara ke Subulussalam. Kerusakan ini diharapkan akan bisa diatasi pada akhir bulan ini. Sekarang, perbaikan sedang dilakukan PLN agar bisa maksimal memberi pelayanan kepada konsumen dengan menambah mesin pembangkit di Rimo, Tapaktuan dan Blang Pidie. (kh)


21 Maret 2010, 10:17
Tiga Truk Terperosok
Lintas Tapaktuan-Medan Lumpuh
Subulussalam
SUBULUSSALAM - Jalan negara yang menghubungkan Tapaktuan-Medan, Sumatera Utara lumpuh sejak pukul 11.00 WIB, Sabtu (20/3) kemarin, setelah tiga unit truk terperosok pada tanjakan tajam tingkat tiga, Desa Jambi Baru, Kecamatan Sultan Daulat, atau sekitar 40 kilometer dari Ibukota Subulussalam. Akibatnya, ratusan kendaraan dari kedua arah terperangkap di lokasi tersebut.

Informasi yang dihimpun Serambi menyebutkan, kemacetan terjadi bermula rusaknya satu truk tronton bermuatan tiang Wika Beton. Truk yang melaju dari arah Medan menuju Tapaktuan tersebut mundur ketika berada di tanjakan terjal tingkat tiga, sehingga bagian belakang terperosok ke berem jalan. Posisi truk bernopol BK 8139 DK itu dilaporkan berbentuk leter L yakni. Sehingga tidak dilewati kendaraan lainnya.

Selanjutnya, sebuah truk tronton lainnya plat BK 8314 BH yang diduga hendak membantu menarik tronton naas itu, ikut terseret ke sebelah kanan truk yang rusak. Lalu sebuah truk bernopol B 9825 UO bermuatan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang datang dari arah Meulaboh, juga terperosok pada sebelah kanan jalan dari arah Tapaktuan.

Akibatnya, Ratusan kendaraan dari Medan menuju Tapaktuan maupun sebaliknya terperangkap di lokasi kejadian. Dikatakan, hanya kendaraan roda dua yang dapat melintas itupun dengan ekstra hati-hati karena celah yang tersisa tidak sampai satu meter. Menurut Sabaria, seorang warga setempat, sebenarnya di Desa Jambi, tepatnya simpang SMA Sultan Daulat arah transmigrasi ada jalan kelok yang tembus ke Lae Raso, Desa Singgersing. Namun, hanya kendaraan yang berbodi kecil saja yang dapat melintas. Pasalnya, ada badan jalan yang longsor di ruas yang berjarak sekira enam kilometer itu. “Memang ada jalan alternatif masuk dari simpang SMA dan keluarnya di Lae Raso, desa Singgersing tapi mobil kecil yang bisa lewat karena ada longsor,” ujar Sabar menambahkan. Hingga pukul 17.30 Wib, jalan tersebut belum juga bisa dilalui.(kh)